Oleh
Ust. Abdullah Haidir
Dulu,
kita pernah diajarkan bahwa rel kereta itu harus diberi jarak /spasi satu sama
lain, agar tersedia ruang utk memuai. Spasi dalam tulisan juga dibutuhkan untuk
keindahan dan kemudahan memahami. Bayangkan kalau tulisan tidak ada spasinya. Begitulah
kurang lebih yang juga kita butuhkan dalam hidup ini: spasi kehidupan. Ruang yang
harus kita kosongkan untuk diisi sesuai kebutuhan.
Hidup
ini sangat beragam, berwarna, berkelindan, penuh konsideran. Beratlah kala
dipahami mutlak-mutlakan, serba dikotomis dan hitam putih. Spasi dalam
kehidupan dapat kita maknai sebagai ruang permakluman, toleransi, ruang
diskusi, mencari konsideran, mencari hikmah, dan lain-lain. Ketika kita melihat
anak istri tidak menurut, langsung kita vonis mereka durhaka, itu pertanda kita
tidak punya spasi kehidupan. Tapi, jika di tengah kekecewaan menghadapi hal
tsb, kita tetap memberi ruang untuk memahami alasan mereka bersikap seperti
itu, itulah spasi kehidupan.
Ibnu
Mubarak berkata, “Jika istri dan hewan
tunggangan saya tidak menurut, saya melihatnya sebagai indikasi ketakwaan yang
sedang turun.” Ketika kita memuji seseorang, jangan lupa sediakan spasi dalam
diri kita tentang sisi kemanusiaannya yang berpotensi salah dan khilaf. Sehingga
jika memang suatu saat ada kesalahan yang terbukti dia lakukan, kita tidak
berapologi atau berbalik 180 derajat memusuhinya.
Pun
sebaliknya, jika kita tidak menyukai sikap seseorang, hendaknya tetap
memberikan spasi untuk memahami alasannya, latar belakangnya, atau lainnya. Apalagi
kalau masalahnya sangat terbuka untuk memberikan ruang interpretasi dan yang
menyampaiknnya memilki kapasitas ilmu dan pengalaman.
Ketiadaan
spasi kehidupan inilah yang menjadikan setiap perbedaan berujung dengan benturan,
kata-kata keji atau bahkan kekerasan, dalam semua dimensi. Spasi kehidupan ini
bukan berarti tidak punya prinsip. Prinsip itu harus, tapi terukur, tidak
membabi buta serta tetap menghormati pihak lain.
Disarikan
dari kultwitt @abdullahhaidir1
0 komentar :
Posting Komentar