Sebelum
saya jelaskan empat hal menuju keluarga bahagia, meniatkan untuk beribadah
merupakan landasan utama mengawali langkah kita saat memutuskan untuk menikah. Karena
landasan utamanya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, maka faktor agama
menjadi syarat utama dalam memilih pasangan,baru dilanjutkan syarat-syarat
pelengkap yaitu fisik, usia, pendidikan, dan lain-lain.
Empat hal menuju keluarga bahagia :
1. Saling mengenal satu sama lain (ta’aruf)
Mengenal pasangan diawali pada saat pra
pernikahan dan dilanjutkan pasca pernikahan. Perkenalan pra pernikahan biasanya
baru bersifat administratif dan ditambah keterangan kelebihan dan kekurangan
masing-masing diri dan keluarga, terutama kekurangan yang spesifik misalnya
cacat di fisik yang tidak terlihat kasat mata, memiliki penyakit yang berat dan
menginfokan kalau dirinya punya tanggung jawab keluarga karena orang tuanya
bercerai, dan lain-lain.
Setelah dilakukan penjelasan mengenai
kekurangan yang spesifik, yang terkait bisa menerima dan juga bisa tidak
menerima. Jika ia menerima kekurangan tesebut pertanda memang itu jodohnya.
Namun jika terjadi penolakan pertanda memang itu bukan jodohnya . Inilah yang
dimaksud jika kita ingin memilih pasangan hidup tidak asal kenal saja dan
seperti pepatah yang kita sering dengar, “jangan
seperti membeli kucing dalam karung”. Untuk perkenalan yang sifatnya
administratif, tidak harus berduaan tanpa muhrim dan tidak harus bersentuhan.
Perkenalan administratif bisa melalui mediator yang terpercaya, bisa via email
atau bisa juga via buku diary.
Perkenalan administratif pra pernikahan menjadi
penting untuk dilakukan agar pasca pernikahan waktu kita tidak terkuras untuk
berdebat menanyakan sesuatu yang sebetulnya bisa kita tuntaskan pada saat
perkenalan pra pernikahan. Jika berjodoh,perkenalan administratif dilanjutkan
dengan perkenalan pasca pernikahan. Setiap pasangan menghabiskan waktu
perkenalan pasca pernikahan berbeda-beda. Ada yang cepat dan ada yang
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Perkenalan pasca pernikahan tentu lebih sulit
dari pra pernikahan. Satu atap dengan membawa perbedaan usia, suku, pendidikan,
kebiasaan dan perbedaan kondisi sosial ekonomi tentunya memrlukan waktu
adaptasi yang tidak cepat. Di sinilah saat-saat waktunya memepelajari tentang
keseharian dan tabiat masing-masing. Jika menemukan hal-hal yang tidak disukai
dalam berinteraksi sehari-hari bisa jadi ini merupakan paket sabar, namun jika
ada yang disukai maka merupakan paket syukur bagi keduanya. Dan kita tidak
boleh lupa bahwa kita adalah manusia bukan malaikat, yang tidak akan lepas dari
kekurangan dan kelebihan. Kita juga harus menyadari, saat kita melihat
kekurangan pasangan kita, pasangan kitapun melihat kekurangan kita.
Jadi agar kita bisa saling memahami dan
menerima kekurangan masing-masing, maka setiap pasangan harus selalu bisa
menghadirkan kesabaran untuk sampai pada saling mengenal dan memahami kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Dan juga tidak mudah terpengaruh untuk mencederai
ijab kabul yang bukan hanya menggoncangkan ’Arasy Allah tetapi juga disaksikan
oleh ribuan malaikat dan undangan yang memberikan ucapan selamat. Kita tidak
boleh mencederai ijab kabul tesebut dengan menggibahinya (menyakiti harga diri
pasangan), menyakiti dengan sumpah serapah apalagi menyakiti fisiknya.
Disinilah waktunya untuk menguji apakah kita mencintai pasangan kita tulus karena Allah SWT dan mencintainya dengan ikhlas menerima kelebihan sekaligus kekuranganya. Ketulusan dan kesabaran inilah yang menjadikan kita lebih cepat mengenal pasangan pasca pernikahan. Kitapun berharap dengan kesabaran melalui masa-masa berat dan sulit ini membuahkan mawadah wa rahmah dalam keluarga kita.
Akhirnya dengan saling mengenal satu sama lain
yang maksimal, mempermudah kita untuk menjalankan tugas kita masing-masing dan
bisa meminimalisir perdebatan yang merusak hubungan satu sama lain, Insya Allah.
2. Keterbukaan (kejujuran)
Keterbukaan
dimulai saat ta'ruf sampai sudah menjadi suami istri misalnya keterbukaan dalam
hal keuangan& pendidikan anak dll .Modal keterbukaan seperti inilah yang
akan meminimalisir prasangka buruk,kekhawatiran yang berlebihan & tentunya
akan menghadirkan ketentaraman lahir batin bagi keduanya. Seperti yang
dilakukan Imam Syafi'i sebelum tidur, beliau selalu memberi wasiat pada istrinya terkait
urusan dunia seperti hutang, dan lain-lain yang belum beliau tunaikan, begitu
juga sebaliknya. Beliau tidak ingin meninggalkan kegelisahan dan kesulitan bagi
yang hidup (keluarga dan kerabatnya) jika pagi harinya Allah SWT menjemputnya.
Terbebasnya kita dari hutang saat menghadap-Nya
bisa dari diri kita pribadi yang selalu waspada, maka sebelum meninggal kita
digerakkan oleh Allah untuk menyelesaikan hutang piutang kita, seperti yang
dialami oleh teladan kita syaikh Abdullah Rantisi. Sehari sebelum menjemput
syahidnya, beliau mengambil gaji bulanannya sebagai dosen dan langsung ia bayar
hutang-hutangnya. Saat ditanya kenapa cepat-cepat melunasi hutangnya, beliau
menjawab, "saya ingin saat Allah SWT
mengambil nyawa saya, saya dalam keadaan tenang karena sdh melunasi kewajiban
saya membayar hutang."
Selain itu, terbebasnya kita dari hutang karena
ada keluarga (kerabat) kita yang menjamin hutang-hutang kita, yg akan
melunasinya saat kita sudah meninggal. Itulah salah satu contoh betapa
pentingnya keterbukaan bagi suami istri untuk mendapatkan kebahagiaan dunia
akhirat. (bersambung..)
0 komentar :
Posting Komentar