“Kader dengan kadar militansi yang selalu hidup, proporsional dan lurus lebih mahal dari sarana apa pun. Banyak penderma kecewa ketika sumbangan yang mereka berikan hanya menjadi sarana dan tak dapat menjadikan perubahan, karena perubahan -- sekali lagi -- dimulai dari diri para kader. Ketika panglima perang Qadisiyah meminta kepada Khalifah Umar 4.000 mujahid untuk menguatkan pasukan yang ada di front, beliau mengirimkan 4 mujahid. Keheranan mereka terjawab dengan surat yang dikirimkan, ‘Kukirimkan kepadamu 4 mujahid yang setiap orangnya menyamai 1.000.’“ [ Syaikh Rahmat Abdullah, dikutip dari buku “Dakwah Visioner”]
“Abu Idariis al-Khaulani berkata, ‘Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta, tetapi lbh meyakini semua yang ada di sisi Allah lebih baik dari yang ada di tangan kita. Jika kita ditimpa musibah, kita sangat berharap mendapat pahala. Bahkan, ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap itu menambah dan menyimpan pahalanya.’ Ibnu Khafif berkata, ‘Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa’. Ibnu Taimiyah berkata, ‘Zuhud adalah meninggalkan semua yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.’“ [ Iman Santoso, dikutip dari buku “Nasihat untuk Qiyadah dan Kader Dakwah]
“...ini adalah permainan yang fair. Siapa yang lebih berpengaruh, merekalah yang lebih besar peluangnya untuk memenangkan permainan. Kalau kemudian permainan dimenangkan oleh orang2 yang tidak saleh, itu artinya orang2 salehnya lemah, dan kondisi inilah yang diprihatinkan oleh Umar bin Khattab dengan statemennya, ‘Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kekuatan orang jahat dan kelemahan orang yang terpercaya.’ Ketika orang saleh itu kalah dalam permainan, tidak sepantasnya jika kemudian ia menyalahkan sistem atau lawannya. Akan lebih bijak kalau ia introspeksi, barangkali ia memang lemah dan perlu meningkatkan kapasitasnya, tidak menyalah-nyalahkan sistem yang membuatnya kalah, apalagi menyalahkan lawan yang mengalahkannya.” [ Jasiman, dikutip dari buku “Rijalud Daulah”]
“...para ulama berbeda pendapat tentang banyaknya rakaat shalat tarawih sekaligus dengan witirnya, apakah 11 rakaat atau 13 rakaat atau 21 rakaat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ‘Ada kemungkinan khilaf ini sangat erat kaitannya dengan panjang dan pendeknya bacaan ayat Al-Qur’an. Kalau bacaan ayatnya panjang, maka jumlah rakaatnya sedikit, dan begitu sebaliknya.’“ [ Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, dikutip dari buku “Fiqih Puasa”]
“...’Kemenangan dakwah bukanlah dengan menghitung banyaknya orang yang bergelimpangan di hadapan sang dai sebagai akibat dari shira’ (konflik) yang ditimbulkannya, akan tetapi dengan menghitung banyaknya waliyyun hamiim (teman2 setia) sang dai itu yang sebelumnya adalah para musuh dai (fa idzalladzii bainaka wabainahu ‘adawatuni).’ Kaidah dakwah spt ini harus kita miliki, sebab umat yang ada di hadapan kita bukanlah ummatun kafirahi (umat yang kafir), akan tetapi ummatun muslimah (kaum muslimin), atau -- sesuai dengan istilah para ‘ulama akidah -- ahlul qiblah.” [ Musyafa Ahmad Rahim, dikutip dari buku “Membangun Ruh Baru”]
0 komentar :
Posting Komentar