Oleh: Anis Byarwati
Penasihat Rumah Keluarga Indonesia
Ekspresi cinta bisa bermacam-macam.
Bagaimana dengan ekspresi cinta pasangan aktivis dakwah? Menjadi aktifis, tidak
berarti kehilangan ekspresi dalam mencintai pasangan. Bahkan, ekspresi cinta
pasangan aktifis dakwah itu unik, karena juga harus punya pengaruh positif
untuk dakwah.
Berbicara soal cinta mencintai, saya terkesan dengan
nasihat ibu saya ketika menceramahai adik bungsu. ”Kalau kamu mencintai seseorang malah membuat kamu jadi malas belajar,
malas kuliah, malas ngapa-ngapain, membuat kamu malah jadi mundur kebelakang,
itu cinta yang nggak benar …dst”.
Jadi begitu rupanya. Saya men
coba merenungi kata-kata itu lebih
dalam.
Saya merasakan ada
kebenaran dari ‘ceramah’ ibu
saya itu. Mencintai seseorang tidak
boleh
membuat kita menjadi mundur ke belakang.
Sebaliknya, mencintai seseorang harus membuat kita lebih
produktif, lebih berenergi, lebih punya vitalitas.
Lalu secara reflek saya mengaitkan itu dengan kehidupan cinta
pasangan aktifis dakwah. Antara Ummahat al-Mukminin dengan Rasul Yang Mulia,
antara para shahabiyat dengan suami mereka. Lihatlah ekspresi cinta Fathimah
putri Rasulullah terhadap Ali bin Abi Thalib, Asma’ binti Abi Bakar terhadap
Zubair bin Awwam, Ummu Sulaim terhadap Abu Thalhah, juga ekspresi cinta
Khansa’, Nusaibah, dan para aktifis dakwah zaman ini.
Mencintai suami tidak membuat mereka menjadi lemah atau mundur ke
belakang. Mencintai suami juga tidak membuat mereka menjadi manja. Justru yang
kita saksikan dalam sejarah, mencintai membuat mereka semakin kokoh, lebih
produktif dalam beramal, lebih matang dan bijaksana dalam berperilaku. Dengan
kata lain, mereka menjadi semakin ‘berkembang’ dan ‘bersinar’ setelah menikah!
Betapa indahnya jika ekspresi cinta kita kepada suami membawa
dampak seperti itu! Betapa indahnya jika ekspresi kita dalam mencintai suami
memberi pengaruh posititif pada kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun
sebagai aktifis dakwah.
Menurut saya, mencintai suami tidak berarti ‘kehilangan’
diri kita sendiri. Tidak juga berarti kehilangan privacy, tidak membuat kita merasa
‘terhambat’, ‘terbelenggu’, atau ‘tak berdaya’. Tentu saja semuanya dalam batas
tertentu dan tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan syari’at Allah.
Bahkan yang lebih dahsyat adalah, jika cinta kita kepada suami
memiliki ‘kekuatan’ yang menggerakkan dan memotivasi. Lalu cinta itu mampu
membuat kita ‘berkembang’, menjadikan kita semakin energik, produktif dan
kontributif! Dengan begitu, pernikahan membawa keberkahan tersendiri bagi
dakwah.
Apakah hal itu terlalu idealis? Karena kenyataan kadang berkata
sebaliknya. Berapa banyak akhwat kita yang setelah menikah merasa dirinya tidak
berkembang? Atau merasa hilang potensinya?
Saya tak ingin membahas kenapa itu terjadi, apalagi
mencari ‘kambing hitam’ segala. Tetapi kita patut merenungkan kata-kata Imam Syahid
Hassan al-Bana ketika berbicara tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga. “Kehidupan rumah tangga adalah ‘hayatul amal’. Ia diwarnai oleh
beban-beban dan kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata
kesenangan dan romantika, melainkan tolong-menolong dalam memikul beban kehidupan dan beban dakwah…”
Rumah tangga merupakan lahan amal. Perjalanan kehidupan rumah
tangga para aktifis dakwah bukan hanya dipenuhi romantika semata, tetapi juga
diwarnai oleh dinamika semangat beribadah, beramal dan berdakwah.
Saya memberikan apresiasi kepada para akhwat yang
setelah menikah justru semakin ‘bersinar’, mampu menjaga keseimbangan dalam
menunaikan tugas sebagai istri dan ibu. Barakallahu fiiki.
Lalu bagaimana dengan yang tidak? Berusahalah untuk menghilangkan
perasaan terhambat, terbelenggu atau tidak berkembang itu. Sebab membiarkan
perasaan-perasaan semacam itu menguasai diri kita, sama saja dengan ‘menggali
kuburan sendiri’. Bukankah lebih baik jika kita tetap berpikir jernih dan
positif? Lalu mencari bentuk kontribusi yang paling memungkinkan yang bisa kita
berikan untuk dakwah.
Bisakah kita tetap yakin bahwa kemuliaan seseorang tidak
ditentukan oleh gelar, jabatan, posisi, kedudukan, ketokohan dan kondisi fisik
lainnya? “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling bertakwa.” (QS
al-Hujurat:13)
Jadi, tetaplah tegar dan sedapat mungkin beramal sesuai
kemampuan dan kesanggupan. Karena, kita tidak dituntut untuk beramal di luar
kemampuan dan kesanggupan kita. Barakallahu fiiki! []
Sumber:
rumahkeluarga-indonesia.com
0 komentar :
Posting Komentar