![]() |
| Mahfudz Shiddiq |
PKS Tambora - Saya
mau berbagi cerita tentang Rohis
sebagai orang yang tahun 80-an awal aktif di Rohis SMA dan tetapi aktif membina
Rohis saat kuliah. Tahun 80-an awal Rohis belum sepopuler unit kegiatan siswa seperti
KIR dan Pencinta Alam. Ini dipengaruhi situas-kondisi politik Orba. Tesis Islam
vs Negara di masa 80-an awal menciptakan stigma negatif tentang aktivitas dan
aktivis Islam di sekolah dan kampus. Saat itu juga berkembang ide sekularisme dari
sejumlah pemikir muslim yang mendapatkan resistensi dari kelompok-kelompok
muslim lainnya.
Stigmatisasi politik Orba dan Ide sekulerisasi Agama itu yang
mendorong semangat untuk kembangkan kegiatan Rohis
di sekolah dan kampus. Hal ini mewarnai karakter Rohis
yang cenderung bersifat alienatif dan purivikatif. Pihak sekolah dan kampus juga
belum sepenuhnya mendukung.
Derivasinya terlihat dari tema-tema kajian Rohis
yang kental ideologis dan perspektif sosio-politis dalam menyikapi keadaan. Para
aktivis Rohis
pun berpartisipasi dalam social-action misalnya untuk tema jilbab dan asas tunggal.
Tema kajian dan aksi yang sensitif saat itu. Ini yang perkuat diferensiasi Rohis
dari unit kegiatan lain yang populer dan didukung penuh sekolah dan kampus.
Namun justru ini jadi nutrisi. Militansi dan mobilitas untuk kembangkan Rohis
memang membuat konsentrasi akademik aktivisnya terpecah dan terbagi.
Namun, aktivis Rohis
dominan sebagai sosok otodidak cerdas dan dinamis, namun lack of asesori akademis. Persis seperti banyak aktivis politik
lain. Perubahan positif Rohis
muncul di era 80-an ketika ada pergeseran pendekatan politik negara terhadap
Islam yang akomodatif. Ruang penerimaan terhadap Rohis
dari sekolah dan kampus mulai terbuka. Seiring itu terjadi adaptasi dan inovasi
sistem di Rohis. Misalnya identifikasi Rohis
sebagai arus moderasi sebagai antitesa dari radikalisme Islam yang distigma-kan
rezim Orba.
Lalu reorientasi tema Rohis
pada aspek akademik dan pembinaan akhlak karimah. Tema ideologis-politis mulai
terseimbangkan. Akselerasi orientasi moderasi, akademik dan akhlakul-karimah
terakselerasi saat BJ Habibie buka jalur scholarship
ke manca-negara. Mulai banyak aktivis Rohis
yang berkompetisi akademik dan berkesempatan dapat beasiswa ke universitas di Eropa
dan Jepang. Menyusul AS dan Australia.
Lalu secara kelembagaan Rohis
mulai mapan dan bahkan bersinergi dengan unit kegiatan lain. Dukungan sekolah
dan kampus pun positif. Kompetensi akademik, akhlakul-karimah dan moderasi
pupuk leadership baru para aktivis Rohis.
Mereka mulai pimpin OSIS dan Senat Mahasiswa. Arus demokratisasi gelombang
ketiga di dunia berkembang juga ikut mewarnai Rohis.
Mid 90-an mereka ikut kaji tema demokrasi Islam. Alhasil aktivis Rohis
di sekolah dan kampus ikut merespon arus demokratisasi yang menerjang Orba.
Warna baru dalam peta aktor demokratisasi.
Boleh dibilang era 90-an adalah masa suburnya Rohis
sebagai sumber pembentukan lapisan baru generasi bangsa yang menganut jargon
Iman-Ilmu-Amal. Sekali lagi dengan karakter moderasi, akademik,
akhlakul-karimah, dinamisme dan kepemimpinan. Rohis
muncul sebagai aset baru bangsa. Era reformasi, setelah berpartisipasi dalam
agenda perubahan politik, Rohis
kembali ke basic-agenda nya. Dapur pencetakan generasi baru bangsa. Kini Rohis
menghadapi tantangan baru, yaitu liberalisasi yang menerpa ragam aspek
kehidupan. Tantangan lebih berat dari sebelumnya.
Liberalisasi yang lahirkan kebebasan yang cenderung
disorientatif, seperti hedonisme, permisivisme dan new urban life style. Ada pasti tahu hal ini. Sisi lain, sistem
politik baru yang belum efektif menciptakan kritisisme aktivis Rohis
terhadap politik. Perlahan mereka tarik garis dari ruang ini. Ini dua situasi-kondisi
baru yang dihadapi Rohis,
tantangan liberalisasi dan disefektivitas sistem politik. Lalu apa respon
mereka ?
Setahu saya, mereka masih fokus pada penguatan – lagi-lagi –
karakter moderasi, akademik, akhlakul-karimah dan dinamisme kepemimpinan. Namun
apakah mereka akan memformulasi respon baru yang lebih substantif? Saya belum
tahu pasti. Ada aroma “kegelisahan” positif.
Pertanyaannya, apakah ada yang akan menstimulir dan men-trigger kegelisahan para aktivis Rohis
ini dengan aneka tujuan? Saya harus tiup peluit keras untuk me-warning
siapapun yang punya “niat-jahat” terhadap Rohis.
Misalnya dengan stigma “sarang rekrutmen teroris muda” !
Stigma itu hanya muncul dari mulut kotor yang ingin
hancurkan lapisan generasi yang justru sangat dibutuhkan Indonesia masa depan. Apakah
Anda akan mengubah sosok moderat, berprestasi akademik, berakhlak baik dan
berjiwa kepemimpinan dinamis menjadi paradoks baru? Dan bahkan Anda pun tidak
punya andil dalam membangun mereka sejak sebagai bayi yang menangis keras?
Berhentilah mengaramkan kapal bangsa ini.
Jiwa dan akal mereka sedang terusik ketika stigma sepihak “sarang
rekrutmen teroris muda” ditempelkan secara terbuka ke publik. Maka perhatikan
mereka baik-baik dengan pikiran jernih dan mata bersih.
Saya hanya ingin ucapkan terima kasih kepada Rohis
atas kontribusi Anda semua. Dakwah Rohis
itu “menunjukkan dan menjelaskan”. Bukan boikot-boikotan. Biarkan mereka jadi
pribadi cerdas dan berani. Biarkan Rohis
bertemu dengan media, KPI, Dewan Pers, BNPT, Dosen UIN Jakarta itu, bahkan ke
DPR untuk “wa jadilhum bil-latii hiya
ahsan...”
Disarikan dari kultwitt @Mahfudz Shiddiq




0 komentar :
Posting Komentar