Oleh: Anis Matta
PKS Tambora - Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian
mendera jasad Islam kita, kita selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat
dan lemahnya persatuan umat Islam. Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah
di balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup
membendung itu, karena persatuan kita lemah.
Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada
banyak faktor yang dapat mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi
semua faktor tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada
banyak faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan,
ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.
Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot
masalah persatuan. Tapi di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh,
ingin ditampilkan di sini.
Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’.
Ia bukan sekedar konsensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari
’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa tertentu
dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana jiwa yang
memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala individu dan jamaah.
Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut
Rasulullah SAW, mulai dari salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada
suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak
’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan yang besar, alim dan awam,
remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ’merangkul’ dan
’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh
keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan,
membahagiakan, dan mencintai.
Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk
’kemahahebatan’, ’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari
ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari
karya dan kepribadian orang lain.
Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu
atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar
manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang
dapat ia berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau
keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari
orang atau kelompok tersebut.
Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau
berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di
antara mereka yang merasa ’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak
berpikir bagaimana menjadi ’lebih besar’ dari yang lain, lebih dari mereka
berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya
dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain.
Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat
Rasulullah SAW yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang
ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama
sekali tidak ’menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam
dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk
’kemahahebatan’. ■
---------------------------------
Gambar ilustrasi dari google
0 komentar :
Posting Komentar