Ketika dakwah memasuki wilayah politik,
tarbiyah siyasiyah mutlak dibutuhkan. Bahkan,berangkat dari karakteristik Islam
yang syamil, tarbiyah siyasiyah pun
menjadi keniscayaan. Dakwah via politik/parlemen, dan sebagainya. Mau gak mau
emang harus ditempuh. Pileg 2014, tokoh Syiah, JIL itu pada nyaleg lho. Tarbiyah siyasiyah yang bermakna pendidikan politik sesungguhnya
sangatlah luas. Ia bukan saja membahas
teori-teori politik, tetapi sampai pada metode pengelolaan negara. Ia bukan
saja terbatas pada pengetahuan politik, tetapi juga bagaimana memberdayakan
umat.
Memberdayakan umat seperti apa? Ya agar bisa
berpartisipasi dalam perbaikan pemerintahan atau islahul hukumah. Juga upaya
membangun dan menumbuhkan keyakinan dan nilai dalam rangka membentuk
kepribadian politik yang dikehendaki. Misal,
melalui orientasi & sensivitas politik, sehingga menjadi partisipan politik
aktif dalam kehidupan politik keseharian. Maka, sasaran yang hendak dicapai
melalui tarbiyah siyasiyah adalah
menculnya kesadaran politik (wa’yu
siyasi), terbentuknya kepribadian politik (dzat siyasiyah), dan munculnya partisipasi politik yang aktif (musyarakah siyasiyah).
Selain memiliki pemahaman tentang politik
dalam Islam dan keyakinan jalan Islam sebagai solusi (al-Islam huwal hallu). Umat yang telah mendapatkan tarbiyah siyasiyah juga berafiliasi
dalam amal jama’i, untuk apa? sebagai upaya mengimplementasikan politik Islam
yang telah mereka yakini. Nah, di bukunya Ust Khozin, diterangin juga, Politik
antara Politik Islam, dengan Politik Barat.
Bahkan, sebelum definisi tarbiyah siyasiyah, yang dijelaskan adalah definisi politik itu
sendiri. Kenapa? Agar relevan dengan kondisi sekarang serta bisa diketahui apa
aja yang jadi keunggulan politik dalam Islam. Emang harus di compare sih, analisa SWOT antara Politik
Islam dengan Politik Barat. Pandangan politik Barat bisa diketahui akarnya dari
pemikiran politik Plato dan Aristoteles. Sehingga pokok-pokok pemikaran politik
Barat terformulasikan ke dalam prinsip-prinsip pemisahan politik.
Pemisahan politik dengan etika, agama dengan
hukum, juga pembedaan kedudukan antara masyarakat dan negara, kedaulatan
politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum. Sementara politik dalam
Islam, berpedoman bahwa; politik harus bersumber dari agama. Sebagaimana
karakter Islam yang syamil, mengatur segala segi kehidupan, maka politik pun
harus sejalan dengan syariat. Bahkan siyasah
syar’iyah itu sendiri berarti segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum
muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan
kejahatan musuh kafir dari mereka.
Jadi, jelas banget perbedaan pertama antara
politik Islam dan politik Barat (sekuler) adalah landasannya. Politik Islam
dibangun dari tauhid, sementara politik Barat justru memisahkan politik dari
agama. Standart kebenaran dalam politik Islam jelas, yaitu Al-Qur’an dan
hadits. Sementara standar kebenaran dalam politik Barat bersifat relatif,
sesuai dengan kesepakatan rakyat. Perbedaan lainnya adalah sumber kedaulatan,
legitimasi kekuasaan, dan aplikasi. Pada politik Islam, sumber kedaulatan
adalah Allah SWT. Maka segala hukum dan keputusan politik harus bersumber dari
sana. Sedangkan politik Barat menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tidak
peduli apa aturan Tuhan.
Dalam politik Islam, legitimasi kekuasaannya
adalah manusia dengan nilai, sementara politik Barat minus nilai. Lalu pada
tataran aplikasi, politik Islam cenderung stabil karena berpedoman pada
nilai-nilai Ilahiyah yang sudah given,
sementara politik Barat bersifat spekulatif dan penuh konflik. Negara dan
pemerintahan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Ada enam alasan
yang menunjukkan hal itu:
1.
Al-Qur’an punya seperangkat hukum
–misal; qishash, maliyah, dan jihad- yang pelaksanaanny mmbutuhkan
negara&pemerintahan.
2.
Pelaksanaan dan pengawasan
aqidah, syariah, dan akhlak yang telah diatur dalam Al-Qur’an membutuhkan
intervensi negara.
3.
Adanya ucapan-ucapan Nabi yang
dapat menjadi istidlal bahwa negara
dan pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam.
4.
Perbuatan Nabi yang dapat
dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan kepemerintahan.
5.
Para sahabat ‘lebih
memprioritaskan’ memilih pemimpin pengganti Nabi daripada mengurus jenazah
beliau.
6.
Kepemimpinan (imarah) telah menjadi bahan kajian dan pembahasan para ulama dalam
kitab mereka sepanjang sejarah.
Kepemimpinan dalam Islam, yang pada tingkatan
tertingginya merupakan implementasi tugas kekhilafahan, setidaknya harus
memenuhi 3 (tiga) syarat: integritas keilmuan, integritas moral, dan kemampuan
profesional. Dalam kaitannya dengan
mekanisme pengangkatan kepemimpinan, Al-Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan
mekanismenya. Yang kita dapati adalah ijma’
(kesepakatan) sahabat. Mereka memilih Abu Bakar, Umar hingga Ali dengan cara
yang berbeda. Abu Bakar dengan musyawarah mufakat, Umar ditunjuk oleh pemimpin
sebelumnya, Utsman melalui tim formatur,
dan Ali secara aklamasi dibaiat kaum muslimin Madinah dan Kufah.
Kepemimpinan yang condong sebagai eksekutif,
dalam Islam juga dikenal ahlul hall wal
aqdi yang menjalankan fungsi legislatif, serta adanya para qadhi atau hakim
sebagai unsur yudikatif. Sementara dalam penyelenggaraan pemerintahannya, politik
Islam memiliki prinsip syura, prinsip keadilan, prinsip kebebasan, dan prinsip persamaan yang meliputi persamaan
umum, persamaan di depan hukum, dan persamaan hak-hak sosial. Naah…, jadi
bagaimana mengimplementasikan Politik Islam dalam sistem demokrasi Indonesia yang
amburadul ini?
Hal yang perlu diingat adalah, bahwa definisi
memanfaatkan demokrasi dengan menegakkan demokrasi itu sangat berbeda. Pasti
bisa lah ya bedain apa itu memanfaatkan, dengan ingin menegakkan. Memanfaatkan
hanya sarana. Cuma cara yang ditempuh, bukan menjadi tujuan. Sementara, kalo
udah jadi tujuan, itu lain urusan. Di buku itupun dibahas detil dari demokrasi
dan produk-produknya, nilai-nilai positifnya, pun negatifnya. Demokrasi sebagai
ide politik modern Barat, atau hal yang tak pernah habis untuk didiskusikan
dalam perpolitikan Islam modern.
Ini dikarenakan adanya hal-hal positif dalam
demokrasi yang sejalan dengan nilai Islam dan bisa dimanfaatkan oleh Islam. Dilema
memang. Disisi lain, ada mudharat yang menanti. Namun, emang gitu yang namanya
pilihan, semua ada resikonya. Tinggal
kita yang pinter milih. Seperti prinsip Ibnu Taimiyah, soal Musyarakah Siyasiyah. Ambil yang
mudharatnya paling dikit. Nah, inti dari Politik Islam yang kita punya,
seharusnya mampu menjadi kendaran, untuk membumikan ajaran langit. Bagaimana
orang-orang di parlemen, gk alergi sama ajaran-ajaran Islam. Bagaimana
meng-goal-kan undang-undang yang menguntungkan umat. Tapi, jangan salah, untuk
jadi ‘pragmatis demi umat’ gak gampang jalannya.
Sesuai judul buku yang saya baca, “Haruskah
Dakwah Merambah Kekuasaan?” Kekuasaan dengan segenap wewenang, fasilitas dan
segala kelengkapannya membuat manusia tergiur untuk memperebutkannya, sehingga
tiada masa yang kosong dari orang-orang berambisi meraihnya. Sejarah telah
mencatat para penguasa yang mewariskan bencana dan menorehkan aib besar pada
wajah kekuasaan. Juga mengabadikan para pemimpin yang menebar keharuman jasa di
sepanjang generasi. Jadi, bolehkah memburu kekuasaan? Benarkah dakwah itu
ujung-ujungnya kekuasaan? Salahkah memanfaatkan sistim jahiliyah untuk
menegakkan kekuasaan? Lalu, seperti apa pemimpin yang diharapkan?
Semoga perjuangan para kafilah dakwah via
parlemen menjadi salah satu ikhtiar kita, mengganti sistem demokrasi nan rapuh,
dengan sistem Allah yang kokoh jua abadi. Yang benar hanya dari Allah, yang
salah pasti dari saya. Sekian.
Penulis: Indah Pebriandini | @NdhaAndini
1 komentar :
Mba beli bukunya di mana? Saya juga sedang cari buku itu. Tp belum ketemu
Posting Komentar