Oleh: Akmal Sjafril
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Gonjang-ganjing
impor daging sapi. Di beberapa tempat, muncul spanduk dan berbagai media
lainnya yang menjelek-jelekkan PKS, sehingga memiliki kepanjangan nama yang
baru: Partai Keseruduk Sapi, Partai Korupsi Sapi dan semacamnya. Asal ada
“sapi”-nya.
Media
massa berlomba-lomba untuk bekerja serba cepat. Pokoknya cepat. Akurasi itu
urusan terakhir. Ada wartawan yang sigap menulis:
Luthfi Hasan ditangkap
tangan oleh KPK, Rabu (30/1/2013) malam. Dari penangkapan tersebut, KPK
mendapatkan uang Rp1 miliar sebagai uang suap kepada Luthfi. Selain itu,
setelah menerima uang suap, Luthfi berada dalam satu kamar hotel bersama wanita
bernama Maharani.
Sekarang,
teks di atas tidak lagi bisa ditemukan di lokasinya dahulu. Beritanya masih
ada, tapi kalimat-kalimat di atas menghilang begitu saja. Gampang benar
menghilangkan jejak di dunia maya. Tapi sudah banyak yang menyimpan screenshot-nya
sebagai bukti. Mungkin, kelak masalah ini akan dibawa juga ke meja hijau.
Sebab, jelas-jelas ustadz Luthfi Hasan Ishaaq tidak ditangkap
di kamar hotel, apalagi bersama seorang perempuan. Jauh panggang dari api.
Bagaimana
pun, masih banyak orang Indonesia yang mengkonsumsi fast news seperti
di atas, kemudian tidak menghiraukan kelanjutan ceritanya. Padahal, proses
hukum di Indonesia biasanya makan waktu cukup lama. Artinya, berita yang
benar-benar shahih biasanya muncul belakangan, sedangkan
yang ngawur-ngawur berseliweran paling awal. Sampai sekarang,
misalnya, masih ada saja yang menyebut Misbakhun sebagai terpidana, padahal ia
sudah dinyatakan tak bersalah dan nama baiknya sudah direhabilitasi. Serupa
dengan itu, sampai sekarang pun masih ada yang mengira bahwa ustadz Luthfi
benar-benar kepergok berduaan dengan perempuan di kamar hotel. Memang banyak
pembaca yang wawasannya tidak up to date.
Beberapa
media yang lebih ‘pintar’, dengan mudahnya, menyajikan berbagai berita
simpang-siur dengan didahului oleh kata-kata “menurut sumber…” Jangankan media
gurem, yang sekelas Tempo pun melakukan hal yang demikian.
Memang pers punya hak melindungi sumbernya yang diperkirakan terancam nyawanya.
Tapi apa iya kasus ini mengancam nyawa seseorang?
Menghadapi
krisis, PKS tidak kelihatan gamang, bahkan seolah-olah ‘sudah terlatih’. Dengan
gampangnya ustadz Luthfi Hasan Ishaaq mengundurkan diri dari
jabatan Presiden PKS (suatu hal yang hampir tabu bagi para pemimpin di
partai-partai lainnya), dengan segera Majelis Syuro bermusyawarah, dan
tahu-tahu ustadz Anis Matta sudah maju ke depan. Posisinya sebagai
Sekjen DPP PKS langsung diisi oleh ustadz M. Taufik
Ridho. Ustadz Anis langsung mundur dari jabatan Wakil Ketua
DPR, dan posisinya langsung diisi oleh ustadz M. Sohibul Iman.
PKS menukar jabatan para pengurusnya semudah tim sepak bola memasukkan pemain
cadangan, dan ‘pemain cadangan’ PKS begitu banyaknya.
Pergantian
jabatan ‘di tengah jalan’ memang suatu hal yang lazim terjadi di PKS, bahkan
sejak zamannya PK dahulu. Ustadz Nurmahmudi Isma’il diangkat
sebagai Menteri Kehutanan RI, dan karenanya ia pun mundur dari jabatan presiden
partai. Ustadz Hidayat Nur Wahid maju, kemudian di tengah
jalan pun mundur karena menerima amanah sebagai Ketua MPR.
Tibalah giliran ustadz Tifatul Sembiring, yang di kemudian
hari pun mundur ‘tiba-tiba’ karena diangkat sebagai Menteri Komunikasi dan
Informasi RI.
Naiklah ustadz Luthfi
Hasan Ishaaq, sampai akhirnya muncul kasus yang kini terjadi. Karena jabatan
tidak boleh dicari – apalagi diminta – di PKS, maka pergantian jabatan tak
pernah jadi sumber konflik. Ada anekdot, Munas PKS ditanggapi dingin oleh para
wartawan, sebab tak ada potensi konfliknya. Setelah amanah dibagikan,
tak ada yang protes dan meminta bagian lebih. Itu hal paling tabu di partai
dakwah. Kalau ada yang melakukannya, siap-siaplah ditendang.
Naik
ke puncak kepemimpinan partai di saat-saat sulit, ustadz Anis
Matta tidak sudi dibungkam. Alih-alih terguncang dengan kasus yang tengah
dihadapi, ustadz Anis malah memerintahkan semua kader untuk
‘tidak tidur lagi’:
“Hari ini, saya akan
katakan pada semuanya dan juga seluruh kader PKS, saya ingin mengatakan
kepada Antum semua bahwa hari ini berlaku ayat Allah SWT., “Lambung
mereka tak bersahabat dengan tempat tidur”. Tak ada lagi waktu tidur sejak
hari ini, saudara-saudara sekalian. Kita akan memulai hari ini, insya
Allah, sebagai
momentum kebangkitan kita semuanya.”
Orasi
politik yang menggelegar ini mengagetkan banyak orang, bahkan para pengamat
politik pun nampaknya tidak pernah meramalkan hal yang semacam ini terjadi. PKS
tidak menutup diri. Malah sebaliknya, sang pemimpin baru justru mengumandangkan
‘terbangunnya si macan tidur’. Jika ustadz Luthfi Hasan Ishaaq
sebelumnya menanggapi penangkapannya dengan ucapan “Hasbunallaah wa ni’mal
wakiil, ni’mal mawlaa wa ni’man-nashiir”, maka kini ustadz Anis
Matta berteriak lantang: “Allaahumma, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin!”
Selanjutnya, ustadz Anis
seolah ingin memberikan contoh bagaimana ‘lambung yang tak bersahabat dengan
tempat tidur’ itu. Berbagai rapat akbar digelar dalam rangka konsolidasi kader,
misalnya di Sumatera Utara, Yogyakarta, Surabaya dan Bali. Di semua acara
tersebut, massa PKS tumpah ruah. Kalau memang PKS mengalami krisis, maka hal
itu tidak terlihat dalam kegiatan-kegiatan konsolidasi kadernya. Si macan,
nampaknya, benar-benar telah terbangun dari tidurnya.
Meskipun
para pengamat politik sibuk menganalisa berapa persen suara pendukung PKS yang
akan berkurang di Pemilu 2014, namun kenyataannya dukungan justru terus
mengalir. Orasi Perdana ustadz Anis saja sudah cukup
untuk membangkitkan begitu banyak reaksi
positif terhadap PKS. Di Solo, masyarakat
ramai menyuarakan dukungannya pada PKS, bahkan banyak yang berkeinginan untuk
bergabung menjadi kadernya. Di Banda Aceh, lebih
dari 1.000 orang kader baru telah direkrut sejak terjadinya kasus yang
menimpa ustadz Luthfi Hasan Ishaaq. Di Gresik, sebanyak 36
DPRa baru terbentuk, lantaran banyaknya orang yang bergabung menjadi kader PKS.
Sebuah tulisan menarik
muncul di situs Kompasiana. Artikel tersebut ditulis oleh Kurniawati Sazali,
seorang ibu rumah tangga yang aktif di majelis ta’lim. Sang ibu,
yang dalam tulisannya tidak mengidentifikasi dirinya sebagai kader PKS,
menyatakan kekhawatirannya akan kasus yang menimpa PKS. Ia menulis:
“Bu Nia, taklim kita
bagaimana? Apakah akan bubar?” kata seorang ibu. Saya pun sempat terpikir
begitu, ketika banyak pengamat di koran dan TV yang mengatakan: PKS akan
hancur. PKS akan bubar. PKS tinggal sejarah. Pertanyaan itu sangat wajar.
Kerisauan kami pun beralasan. Majelis Taklim kami memang banyak ditopang
kader-kader PKS. Hampir semua yang mengisi taklim kami adalah kader-kader PKS.
Kalau PKS bubar, ustadzahnya tidak mau datang lagi apa Majelis Taklim tidak
bubar? Memang hari gini masih ada ustadzah yang masih mau sabar ngasih taklim
kepada kami-kami?
Memang saat itu sempat
terpikir waktu kami berunding dengan ibu-ibu peserta majelis taklim. Apa
sebaiknya kita gabung dengan ibu-ibu majelis taklim yang lain? Tapi pikiran itu
ditolak oleh ibu-ibu yang lain karena dua sebab. Pertama karena sudah cocok
dengan cara penyampaian ustadzahnya yang ringkas, mengena dan praktis. Kedua
tempatnya lebih jauh tentu saja masalah datangnya dengan cara apa menjadi
masalah utama.
Alhamdulillaah, setelah dihubungi,
sang ustadzah yang biasa mengisi kajian di majelis
ta’lim tersebut menyatakan bahwa kajian tidak akan berhenti meskipun
PKS mengalami masalah. Sang ustadzah pun menjelaskan dengan
jernih:
Kami ingin mendengar
penjelasan panjang yang mungkin akan terlewat jika lewat telepon. Beliau justru
menjawab sambil tersenyum: Justru tidak ada alasan. Lho, kenapa memangnya?
Ketika kita belajar Islam dan berusaha memahami dengan baik, berusaha
mengamalkan apa yang kita tahu. Ketika kita meneruskan usaha kita tentu tidak
perlu ditanyakan mengapa meneruskan? Justru yang berhenti itu yang perlu
ditanya, mengapa berhenti? Subhanallah. Alasan yang sangat masuk akal.
Demikianlah
logika yang digunakan oleh beliau. Tidak perlu alasan untuk belajar agama.
Sebaliknya, kalau mau berhenti, maka harus ada alasan yang sangat bagus (dan
sebenarnya, tak ada alasan yang cukup bagus untuk berhenti belajar). Jawaban
ini sekaligus menunjukkan mentalitas sang ustadzah sendiri.
Baginya, terus berdakwah itu alamiah, tak perlu alasan. Berhenti berdakwah
itulah yang perlu dipertanyakan alasannya.
Pengalaman
emosional yang kemudian terjadi pun dikisahkan selanjutnya secara panjang
lebar:
Pertanyaan yang menurut
saya paling panas dan mungkin menyinggung ustadzah adalah tentang PKS keseruduk
sapi. Bagaimana tanggapannya? Masih dengan tersenyum dan dengan wajahnya yang
ikhlas beliau memberi penjelasan dan mengulangi pernyataannya bahwa setiap
pilihan ada konsekuensinya. Jangankan keseruduk sapi, seandainya diinjak gajah
kami juga tetap tidak bergeser. Subhanallah, sampai ibu-ibu mbrebes mili.
Beliau meneruskan:
Ibu-ibu sekalian sudah
mengenal saya sejak lama, soal ibu percaya kepada kami atau tidak bagi kami
bukanlah masalah besar. Hanya harapan saya, ibu-ibu tetap istiqamah untuk
belajar Islam dan mengamalkannya. Itu sudah sangat membahagiakan saya.
Tangis kami pecah. Kami sudah mengenal beliau dan teman-temannya dari PKS
begitu gigih luar biasa dalam setiap kegiatan pengajian, sosial dan
kegiatan-kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kami. Sampai ada seorang ibu yang
agak histeris mengatakan: Demi Allah, saya menjadi saksi atas ustadzah dan
teman-taman ustadzah. Kalau ustadzah berani mengambil resiko dalam perjuangan,
kami tentu tetap mendukung dan menyertainya. Kami sudah mendapat banyak
kenikmatan Allah berupa pemahaman Islam. Kami sudah lebih paham untuk apa Allah
menciptakan kami. Apakah hanya karena kata pengamat saja kami jadi berbalik
arah? Mereka hanya bisa ngomong, memang omongan mereka layak untuk ditampilkan
karena layak dijual. Tapi mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan.
Mereka tidak pernah
mengalami apa yang kami alami. Kami sering bertemu dan mengetahui apa saja yang
ustadzah dan teman-teman ustadzah lakukan. Apakah kami orang-orang yang tidak
bisa berfikir kalau hanya karena omongan di luar yang tidak jelas mempengaruhi
kami. Keharuan menyelimuti suasana. Tangis dan airmata tidak bisa dibendung
lagi. Acara taklim berubah menjadi acara tangis-tangisan.
Kisah
pun ditutup dengan sebuah penegasan yang begitu kontras dengan kondisi yang
dibicarakan di media massa belakangan ini:
Dengan mengusap buliran
airmata yang menetes, ustadzah pun meneruskan: Terima kasih atas kepercayaan
ibu-ibu semua. Insya Allah kepercayaan ibu-ibu akan kami pegang erat-erat.
Dengan rasa haru yang tidak terbendung salah seorang ibu mengatakan: Walaupun
kami bukan kader dan bukan apa-apa bagi PKS tapi tetap percaya dengan PKS.
Insya Allah kami akan lebih rajin beribadah dan lebih rajin untuk belajar
Islam. Dan mulai pemilu akan datang kami semua akan mencoblos PKS.
Kisah
di atas bukan satu-satunya. Masih banyak kisah lain, misalnya dukungan
seorang Ibrahim Oang terhadap
PKS, atau dukungan buruh Jawa Barat kepada
Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Semakin dicari, semakin tidak
terlihat bukti-bukti bahwa PKS ditinggalkan oleh konstituennya. Sebaliknya,
pendukung PKS justru bertambah terus.
Cerita
dari Kurniawati Sazali telah menjelaskan banyak hal. Yang paling utama, kisah
itu menunjukkan mengapa kader dan simpatisan PKS begitu loyal. Bukan
karena taqlid buta atau fundamentalis – sebagaimana yang
dikatakan oleh sementara orang – melainkan karena mereka mengenal dengan baik
PKS, para kader dan pimpinannya. Kader-kader PKS tidaklah ‘gaib’ sepanjang 4
tahun dan hanya muncul di musim kampanye. Mereka didoktrin sedemikian rupa
untuk menebar kebaikan dan berdakwah ke seluruh penjuru tanah air, semampunya.
Kapan pun terjadi musibah dan bencana alam, PKS akan tampil dan membantu sesuai
kemampuannya. Hal ini tidak dilakukan dengan pamrih. Diliput media atau tidak,
operasi bantuan kemanusiaan terus digelar oleh kader-kader PKS. Maka, jika
fakta di lapangan berbeda dengan kisah yang tertera di surat kabar yang mampir
ke teras rumah di pagi hari, rakyat tentu akan memilih untuk mempercayai apa
yang dilihat dan dialaminya sendiri.
Meski
banyak yang mengatakan bahwa PKS mempolitisasi agama, namun lebih banyak lagi
yang menyaksikan kenyataan bahwa kader-kader PKS berdakwah dengan ikhlash lillaahi
ta’ala, dan bukannya sekadar mengharapkan tambahan suara di pemilu atau
pilkada. Sebagaimana pengalaman Kurniawati Sazali dengan ustadzah pembimbing majelis
ta’lim-nya yang tak pernah menyuruh-nyuruh jamaahnya untuk menjadi kader
PKS, demikian juga banyak orang lain yang memiliki pengalaman serupa.
Pengalaman yang dialami sendiri tentu lebih membekas daripada pernyataan para
analis, betapa pun panjangnya gelar akademis di depan dan belakang namanya.
Inilah
‘tembok’ yang menghadang setiap orang yang ingin ‘menggoyang’ PKS. Relasi
antara kader dan pimpinannya tergambar dari sebutan yang diberikan kepada para
pimpinan, yaitu “ustadz”. Istilah ‘petinggi PKS’ adalah murni bikinan
media, sebab kader-kader PKS tak pernah terbiasa dengan konsep ‘petinggi’ dan
‘perendah’. Tidak ada yang tinggi dan rendah. Yang menjadi pimpinan adalah
para ustadz yang makan, minum, tidur, menangis dan bercanda
bersama para kader lainnya. Para kader pun setiap saat harus siap untuk mengisi
pos-pos dakwah yang kosong, bagaikan anak panah yang siap ditembakkan oleh
busurnya. Tidak ada pembesar di PKS, karena Yang Maha Besar hanya Allah.
Oleh
karena itu, ketika media massa sibuk menampilkan imej ustadz Hilmi
Aminuddin – Ketua Majelis Syuro PKS – sebagai sosok petinggi, penguasa,
pembesar, raja dan orang yang mengumpulkan kekayaan melalui partainya,
kader-kader PKS tidak terpengaruh. Sebab, mereka kenal betul siapa ustadz Hilmi.
Beliau bukan orang yang jauh dari masyarakat, apalagi dari kader-kader PKS.
Banyak di antara kader-kader PKS yang punya pengalaman pribadi berinteraksi
dengan beliau, meskipun mereka tidak memiliki jabatan tinggi di partai. Apa pun
yang dikatakan oleh media, manusia pasti lebih mempercayai pengalamannya
sendiri.
Hal
yang sama pun berlaku sebaliknya. Jika ada tokoh-tokoh yang keluar atau
dikeluarkan dari PKS, kemudian berbicara negatif seolah-olah tak ada lagi yang
tersisa dari PKS selain keburukan, maka hal itu pun tidak memberi pengaruh
signifikan kepada kader-kader PKS. Sebab, mereka pun mengenal dengan baik siapa
tokoh yang berbicara itu.
Tentu
saja, ini bukan berarti semua kritik yang ditujukan pada PKS itu pasti salah.
Mengatakan bahwa semua kritik itu meleset sama tidak masuk akalnya dengan
mengatakan bahwa semua kritik itu benar. Di antara kader dan pimpinan PKS pasti
juga ada yang melakukan kesalahan. Akan tetapi, jika partai dakwah yang dikenal
karena kesantunan kader dan kerja nyatanya kemudian dipersepsikan seolah-olah
sebagai partai paling korup dan paling tidak jujur, tentu masyarakat pun akan
bertanya-tanya: jujurkah penilaian ini?
Ada
hubungan khusus di antara jajaran pimpinan dan kader-kader PKS yang tidak
dijumpai di partai-partai lainnya. Masyarakat pun telah semakin akrab mengenal
partai dakwah yang satu ini. Inilah yang seringkali lolos dari analisis media
massa. Dan, nampaknya, hal ini pula yang membuat para analis berulang kali
terbukti salah dalam menilai PKS.
Wassalaamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh…
0 komentar :
Posting Komentar