Salaf ash-shalih adalah para pewaris keseluruhan iman, tentara, dan golongan Allah, serta prajurit al-Qur’an. Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan pengikutnya yang terbaik. Umat yang paling lembut hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit improvisasinya, paling indah penjelasannya, paling benar imannya, paling ikhlas nasihatnya, dan paling dekat dengan Allah. Allah telah membuktikan kebenaran hatinya sehingga mereka diberikan balasan kemenangan yang gemilang.
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” [Al-Fath, 18]
Sirah salafush-shalih sangat penting bagi kita para da’I sehingga Dr. Taufik al-Wa’iy memasukkannya sebagai sumber-sumber dakwah selain Al-Qur’an dan As-sunnah An-Nabawiyah (Sunnah Nabi) di dalam bukunya yang berjudul Ad-Da’wah Ila-Allah. Berikut ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari para salafush-shalih :
1. Menjual jiwa raga dan hartanya kepada Allah SWT.
Begitu besarnya pengorbanan yang mereka berikan demi tegaknya Islam sehingga mereka rela mengorbankan jiwa raga dan hartanya sehingga Allah membayarnya dengan bayaran surga yang luasnya seluas langit dan bumi, memberikan kegembiraan kepadanya dan mengukuhkannya sebagai orang-orang yang beruntung.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah, 111]
2. Memiliki keberanian yang dibanggakan oleh Al-Qur’an.
Keberanian yang luar biasa telah mereka tunjukkan di dalam perjalanan da’wah bersama Rasul SAW. Tidak ada sedikitpun rasa takut yang mereka tunjukkan ketika berhadapan dengan para pembesar quraisy yang memiliki kekuatan dalam segala hal diantaranya kekuasaan, harta, bahkan kekuatan fisik dan senjata. Hal ini ditunjukkan dengan sikap keluarga Yassir yang istiqomah dengan keimanannya meski nyawanya dipertaruhkan, begitupun bilal yang menghadapi penyiksaan fisik di tengah padang yang panas harus menahan tindihan batubesar. Kesetiaan yang mereka tunjukkan Allah abadikan dalam Adz-dzikr al-Hakim (pengingat yang baik).
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” [al-Ahzab, 23]
3. Berada pada puncak mahabbah karena Allah
Mahabbah karena Allah yang mereka miliki membuat mereka mampu bersikap itsar (mendahulukan orang lain meskipun ia sendiri sangat membutuhkan). Itsar ini merupakan satu posisi yang membuang jauh-jauh dendam hati dan sifat pelit sehingga Al-Quran menyebutnya.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." [al-Hasyr, 9-10]
Dengan iman yang melahirkan kecintaan inilah mereka telah berhasil membangun Negara yang dirajut dengan cinta sehingga bisa menampilkan khairu ummah (umat terbaik). Mereka adalah umat yang satu sama lain disatukan oleh aqidah dan syari’at Rabbnya.
Mereka adalah contoh dan sekaligus pengemban dakwah sepanjang zaman. Merekalah para penunjuk yang diberi petunjuk. Merekalah nyala api dakwah, matahari dan telaganya. Merekalah teladan yang baik, idola pemuda umat ini, para da’i dan ulamanya. Mereka berdakwah diatas bashirah (kejelasan) pemahaman, kesabaran, dan keikhlasan. Berikut ini contoh kisah dakwah yang dilakukan oleh Mujahid dakwah.
DAKWAH MUSH’AB BIN UMAIR
Mush’ab bin Umair berangkat ke Madinah sebagai da’i. Ia memiliki keberhasilan yang luar biasa ketika berdakwah di Madinah. Salah satus trategi dakwah yang dilakukan adalah bagaimana ia melakukan dakwahnya kepada pada pembesar (pemimpin kaum) yaitu Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair yang merupakan pemimpin kaumnya masing-masing dari bani Abdi al-Asyhal. Usaid yang marah terhadap dakwah yang dilakukan oleh Mush’ab ketika itu menggambil tombak pendeknya dan menemui Mush’ab dan As’ad yang telah lebih dulu masuk Islam. Ketika As’ad melihatnya, ia berkata kepada Mush’ab, “Dia ini adalah pemimpin kaumnya. Dia hendak menemuimu. Karenanya, sampaikan dari Allah dengan benar.”
Mush’ab : “Silakan duduk. Aku hendak berbicaras edikit.”
Usaid : (berdiri di hadapan keduanya dengan mengomel-ngomel)
“Ada apa kalian berdua datang kepada kami, membodoh-bodohkan orang-orang lemah kami? Pergilah menjauh dari kami jika kalian masih sayang kepada diri sendiri.”
Mush’ab : Silakan duduk dan dengar kenapa yang akan aku sampaikan. Jika kamu setuju, silakan diterima. Jika kamu tidak suka, hentikanlah apa yang tidak kamu sukaiitu.”
Usaid : “Baik. Aku dengarkan. Ia kemudian menancapkan tombaknya dan duduk di hadapannya.
Mush’ab lalu memaparkan Islam kepadanya dan membacakan Al-Quran. Keduanya (Mush’ab dan As-ad) berkata mengenang peristiwaitu, “Demi Allah, kami melihat rona Islam di wajahnya sebelum ia mengucapkannya dengan senang dan ringan.”
Usaid berkata, “Alangkah indahnya yang engkau sampaikan. Apa yang kalian lakukan jika hendak masuk kedalam agama ini?” Keduanya berkata, ”Mandi dan bersucilah, bersihkan pakaianmu, kemudian engkau bersaksi dengan kesaksian yang benar kemudian kamu shalat.” Usaid lalu bangun, mandi, bersuci, membersihkan pakaiannya, lalu bersaksi dengan kesaksian yang benar, lalu bangun shalat dua rakaat. Ia kemudian berkata kepada keduanya. “Sesungguhnya, dibelakangku ada seorang tokoh yang jika dia mengikutimu, tidak akan ada kaumnya yang tertinggal. Aku akan segera mengutusnya menemui kalian berdua, yaitu Sa’ad bin Mu’adz.
UMMU SULAIM DAN SUAMINYA
Inilah wanita yang mampu mengislamkan suaminya. Bagaimana ia menjadikan maharnya adalah harga hidayah suaminya. Inilah Ummu Sulaim.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas r.a. Sesungguhnya, Abu Thalhah r.a. (sebelum masuk Islam) meminang Ummu Sulaim r.a.
Ummu Sulaim : “Wahai, abu Thalhah! Tahukah kamu bahwa tuhan yang kamu sembah itu tumbuh dari bumi?”
Abu Thalhah : “Betul.”
Ummu Sulaim : “Apa kamu tidak malu menyembah pohon? Jika kamu masuk Islam, aku tidak akan meminta mahar selain itu.”
Abu Thalhah : “Saya pikir-pikirdulu.”
Abu Thalhah lalu pergi. Ketika datang lagi, ia mengucapkan syahadat.
Ummu Sulaim : (kepada anaknya Anas), “Wahai Anas, nikahkan Abu Thalhah.”
Anas lalu menikahkannya.
Dari kisah kedua sahabat ini kita bisa melihat begitu luar biasanya mereka yang telah memberikan yang terbaik bagi dakwah. Mush’ab bin Umair yang masa mudanya meninggalkan kemewahan demi melaksanakan tugas yang mulia, menerima Islam dan mendakwahkan Islam kepada manusia. Dan di dalam melaksanakan dakwahnya menggunakan strategi yang brilian sehingga berhasil mendakwahi mayoritas penduduk Madinah. Ummu Sulaim yang hanya bersedia dinikahkan oleh laki-laki yang siap menerima Islam. Dan menjadikan hidayah sebagai maharnya.
Mudah-mudahan daripelajaran yang telah dilakukan para salafush-shalih kita bisa mengasilkan para da’i yang solid dan cerdas di dalam menerapkan strategi dakwahnya. Begitupun para da’iyah yang mendukung peran suaminya di dalam dakwah dan da’iyah yang belum menikah mampu menjadikan tarbiyah dan dakwah sebagai salah satu maharnya.
Wallahua’lam.
0 komentar :
Posting Komentar