MELONGOK KANTONG KEMISKINAN DI IBUKOTA
Dokumen Poskota | Selasa, 26.01.2010
Dalam hidup ada siang ada malam, ada miskin ada kaya. Di setiap negara maju sekalipun tetap ada kemiskinan karena memang sudah menjadi ekosistem kehidupan manusia.
Kemiskinan sangat kental dengan kehidupan kota metropolitan. Jakarta misalnya, meski terkesan samar, kehidupan orang miskin tetap terpancar ditengah gemerlapnya ibukota. Dibalik gedung pencakar langit di setiap sudut kota, di situ ada kantong kemiskinan.
Disaat kondisi perekonomian bangsa ini melorot seperti sekarang ini, wajah-wajah kesengsaraan pun semakin tampak jelas.
Potret kemiskinan tak hanya tergambar dari sosok nenek tua renta Halimah, 66, warga Kelurahan Gunung RT. 006/01 No. 51 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Poskota, 25/1)
Tapi, kehidupan warga di pemukiman padat penduduk di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, memberikan gambaran nyata bahwa ibukota bukanlah satu-satunya tempat untuk mengubah kehidupan. Siapa suruh datang Jakarta? Begitu kata nyanyian.
Kalianyar, salah satu wilayah kelurahan yang padat penduduknya tak hanya di Jakarta Barat, ataupun Indonesia, tetapi menempati urutan pertama di Asia Tenggara.
Di wilayah seluas 31 hektar ini penduduknya resminya tercatat 27.155 jiwa. Namun jika ditambah dengan warga pendatang (dari daerah) maupun penghuni gelap, diperkirakan mencapai 50.000 jiwa. Memang tidak ideal, tetapi kenyataan yang ada dalam satu lingkungan keluarga miskin di tempat ini, satu rumah kecil ada yang di huni lebih dari lima kepala keluarga (KK).
Mereka hidup berhimpit-himpitan, bahkan ada yang berbagi waktu giliran tidur dengan istilah shift, layaknya pergantian petugas jaga keamanan. Umumnya, warga yang ‘hidup’ bergiliran dalam satu rumah tinggal, adalah kelompok pendatang yang secara bersama di rumah petak.
“Misalnya satu kamar di huni enam orang. Kalau semuanya tidur bareng tentu kamar tidak muat, sehingga mereka saling berbagi waktu untuk tidak tidur. Umpama, pedagang makanan yang kerja berhak tidur di kontrakan pada malam hari, sedangkan pedagang sayur yang jualan tengah malam, giliran tidur pada siangnya,” kata Sadikun, penghuni rumah kontrakan di Gang V, Kalianyar, kemarin.
HARUS MENGALAH
Kondisi memprihatinkan ini terpaksa dijalani kaum urban demi menghemat biaya hidup di Jakarta yang dirasa mencekik leher. “Tinggal di Jakarta, cuma kencing saja bayar seribu perak,” ujar pedagang gorengan asal Pemalang, Jawa Tengah, yang sudah belasan tahun tinggal di Kalianyar.
Begitu pula dengan Sutisna, Ketua RT. 10 RW. 02 Kalianyar. Selaku pengurus RT yang membawahi lebih dari 100 KK, pria yang sudah lama menempati ruamh mertuanya itu, kini tinggal bersama tujuh KK lainnya yang masih berhubungan famili dalam satu rumah di gang sempit.
“Meski sebagian warga hidup dibawah garis kemiskinan, namun kebutuhan makanan sehari-hari tetap lancar,” ujar ayah tiga anak yang bekerja serabutan sejak kena PHK beberapa tahun lalu.
Saking padatnya warga Kalianyar, untuk keluar masuk rumah harus melewati gang sempit yang lebarnya setengah meter. Kalau saat berpapasan dengan orang lain, salah satu harus mengalah.
“Apalagi jika ada warga yang meninggal dunia di rumah. Kalau mau disemayamkan di Masjid, jenazahnya tak bisa di gotong pakai kurung batang, tapi harus di gendong sampai tempat yang lebih lega,” paparnya.
Tidak beda dengan keluarga Amin yang tinggal di jalan Kalianyar V. Dia menempati satu rumah dengan 4 KK lainnya totalnya ada 27 jiwa. Seharihari, Amin menggantungkan hidup dengan berjualan minuman dan mie instan.
“Sejak usaha konveksi di wilayah ini sepi, maka omset dagang ikut anjlok. Pasalnya, kebanyakan peanggannya pendatang yang bekerja di konveksi atau buruh,” ucap bapak satu anak ini seraya menyebut hidup pedagang kecil sekarang ini makin berat.
MCK UMUM
Di tengah kepadatan penduduk di Kalianyar, terseli bisnisyang menguntungkan. Para pemilik rumah banyak yang mengubah kamar kecilnya menjadi kamar tidur. Ini menginspirasisebagian warga untuk membuka bisnis tempat mandi, cuci, kakus (MCK) umum.
Sebagian warga pun memilih mandi maupun buang hajat di MCK umum. “Ada beberapa warga yang membangun sebagian rumahnya untuk MCK umum karena banyak rumah lainnya yang tidak punya kamar kecil,” jelas Ketua RW 02 Sunyoto.
Bisnis ini laris manis karena dari pagi hingga malam warga bergiliran datang. “Sekali masuk, baik mandi, cuci, maupun buang hajat, tarifnya seribu rupiah,” timpal Sanih, warga setempat.
Pemberlakuan pasar bebas AFTA-China, menurut Sunyoto yang masih menjadi ketua RW sejak 2002 itu, semakin terasa berat bagi warga miskin. Sejak produk China membanjiri Indonesia, aktifitas konveksi yang dulu marak di Kalianyar kini banyakyang tutup.
Pedagang kelontong juga sempoyongan sejak banyaknya minimarket yang masuk kawasan padat hunian. “Untungnya pengusaha di sini masih peduli terhadap warga miskin, sehingga dalam kondisi darurat mereka sering memberi bantuan,” ungkap purnawirawan Polri tersebut.
Lurah Kalianyar, Djoko Soeparno, menjelaskan, wilayahnya terdiri dari 9 RW dan 101 RT. Sebagian warganya bekerja sebagai buruh konveksi dan pedagang kaki lima.
“Di sini terdapat 997 KK yang memiliki Kartu Keluarga Miskin (GAKIN). Tiap pemegang kartu gakin tiap bulan berhak mendapat jatah beras murah 13 kilogram dengan harga Rp. 1.600/kilo. Tapi, kadang ada warga yang cuma mampu membeli lima kilo beras lantaran uangnya pas-pasan. Jika ada warga sakit dan butuh rawat inap di Rumah Sakit bisa gratis karena biaya ditanggung Pemprov DKI Jakarta,” ujarnya seraya mengatakan, hampir tiap hari ada saja warga yang meminta Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk minta keringanan biaya Rumah Sakit, sekolah dan lainnya. []



0 komentar :
Posting Komentar